“Yang terpenting ketahanan tubuh, tidak kita sadari bekerja didapur itu berdiri lebih dari 18 hingga 20 jam sehari, karena kalau ketahanan sudah kuat berpikirpun bisa lebih normal bila ketahanannya menurun maka kita tidak dapat berpikir jernih.” – Chef Hendro Soejadi, Corporate Executive Chef MGM Horison Hotel Indonesia
Kadangkala sebuah pekerjaan yang memaksa kita untuk mengerjakan sesuatu yang tidak kita sukai bahkan sayangi. Terkadang pula karena kebutuhan dan hasil yang menggiurkan mengalahkan egoisitas kita. Walaupun tak sedikit pula yang pada akhirnya karena terbiasa mencintai pekerjaan kita. Mungkin saja karena awalan yang sulit, seperti yang dijalani oleh Chef Hendro Soejadi, Corporate Excutive Chef, MGM Horison Hotel. Pengalaman dan kemampuan yang dimiliki mampu mensejajarkannya dengan chef-chef dunia lain. Mampu mewakili negara dalam bidang kuliner membuat bangga menjadi chef Indonesia.
Sama seperti anak lain, cita-citanya adalah menjadi pilot, namun keterbatasan dana serta kemampuan membawanya ke dunia yang ia geluti hingga kini. Mendapatkan beasiswa dalam program apperentice di Hotel Borobudur merupakan awal dari tempaan yang berat di dunia dapur. Setiap 3 bulan rekan-rekan seangkatan disana berguguran karena tidak masuk kriteria yang dibutuhkan hotel hingga pada akhirnya tersisa 7 orang saja. Yang terpenting ketahanan tubuh dinilai, karena tidak kita sadari bekerja didapur itu berdiri lebih dari 18 hingga 20 jam sehari, karena kalau ketahanan sudah kuat berpikirpun bisa lebih normal bila ketahanannya drop maka kita tidak dapat berpikir jernih. Pada saat itu kecerdasan dan keterampilan tidak terlalu diutamakan, yang terpenting ketahanan fisik, rajin dan mau bekerja, karena menjadi chef berarti kerja keras.
Sangat berbeda dengan profesi seorang chef saat ini yang banyak bekerja dibalik layar, bahkan saat itu tidak ada kebanggaan berprofesi sabagai chef karena kebanyakan orang mencibir dan menganggap dunia dapur adalah pekerjaan perempuan. Semuanya berusaha Chef Hendro abaikan dan berusaha dinikmati serta disyukuri karena mungkin memang rejekinya berasal dari sini. Berpindah tempat untuk mendapatkan ilmu makanan barat klasik dengan penyajian fine dinning dimana yang masuk kesana bukan orang sembarangan, pakaian yang mereka kenakanpun harus resmi. Berpindah kerja ke rumah makan jepang karena ingin menguasai masakannya hingga terbiasa dengan tuntutan menyajikan makanan ke banyak tamu dengan cepat. Restoran dengan menu-menu yang dimasak dengan teknik yang biasa dikenal dengan sebutan tepannyaki ini membuat badan bau asap. Bahkan karena baunya, pernah suatu ketika pulang naik kereta ada yang menanyakan “habis pulang kemping yah? Badannya bau asap.”
Hingga akhirnya kesempatan bekerja diluar negeri datang, bekerja di Sydney, Australia selama 3 tahun. Bekerja di kapal pesiar terbesar, harus menyajikan makanan dari sarapan, makan siang, tea break hingga buffet on deck masing-masing untuk 3.000 orang. Saat buffet on deck berjumpa tamu yang tertarik dengan makanan Indonesia dan mengajaknya buka restoran di Inggris, mengangkat makanan yang ngetop dari 5 negara Asia; China, Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Singapura. Disini terbiasa menyajikan makanan dengan presentasi yang baik hingga akhirnya tersadar bahwa makanan nusantarapun bisa menjadi masakan internasional yang berkelas.
Masyarakat nusantara masih kurang terbiasa untuk mengingat satu makanan, kekurangannya belum berani mengeploitasi tampilan makanan, memasak dengan standar klasik ditampilkan dengan presentasi modern. Pernah suatu ketika menyajikan opor di Inggris, diberi nama breast chicken in coconut milk serve with fregrance rice. Seorang Indonesia yang lama tinggal disana merasa familiar dengan makanan ini hingga akhirnya memanggilnya, ketika menjelaskan yang disajikannya opor, diapun terheran-heran. Tampilannya dari saus opor sudah jadi diblender hingga halus kemudian disaring hingga rempahnya lembut, sehingga tampilannya bagus dan rasanya enak. Eropa terbiasa dengan saus terpisah, jadi ketika membuat rendang atau kalio ditampilkan dengan saus terpisah, karena mereka yang tidak suka saus bisa juga menikmatinya. Membuat opor dengan daging ayam diambil tulangnya, digulung dengan dimasuki sayuran didalamnya, secara tampilan enak dilihat mata dan enak dimakan. “Jangan takut dengan memasak makanan indonesia itu terikat harus seperti itu, harus bisa keluar dari ranahnya,” demikian jelas Chef Hendro.
Bekerja melanglangbuana hingga ke luar negeri bukan hanya menambah wawasan, pengalaman dan kemampuan memasaknya namun pula menumbuhkan kebanggaan menjadi chef. Lewat kemampuannya itu Chef Hendro berhasil mengharumkan nama bangsa melalui kejuaraan-kejuaraan yang diikutinya diluar negeri. Bahkan bukan hanya itu keahliannyapun diperhitungkan hingga terpilih menjadi juri dalam suatu lomba masak bertaraf internasional.
Sepulang dari melanglangbuana di luar negeri, Chef Hendro membentuk komunitas ICT, Indonesia Chef Talent. Banyak rekan-rekan seprofesinya yang sepulang dari luar negeri ironisnya menjadi pengangguran, lewat komunitas ini para chef tersebut dapat dibantu untuk mendapatkan pekerjaan ataupun mengembangkan talenta memasaknya. Sekembalinya dari luar negeri dan berkarier kembali di Indonesia, Chef Hendro banyak diundang menjadi pembicara dan mengajar. Memang tidak mendapatkan materi yang banyak namun mendapatkan kepuasan batin yang luar biasa apalagi ketika bisa melihat anak didiknya sukses diluar, antusias dan mau belajar, bisa mengikuti metode yang diajarkannya. Membuka sekolah Celebrity Chef Academy, berpatokan disana semua bisa menjadi chef tergantung keinginannya. Membuka 5 kelas, mulai dari 6 bulan, 3 bulan, 2 bulan ingga bulan hingga menjadi foodstylist 1 minggu. Ingin mengajarkan ilmu yang ketika dipraktekan ke dunia industri itu dapat terpakai dan sama.
Khusus menjadi foodstylist karena kenekatan ditawari langsung menerima saja tanpa tahu dulu bentuk pekerjaannya. Pada akhirnya menyadari bahwa profesi ini sebaiknya bukan berlatar belakang seorang chef karena pada saat disajikan makanan yang baik dimata chef belum tentu demikian dimata kamera. Hanya beberapa saat saja bekerja menjadi foodstylist karena merasa bertentangan dengan jiwanya.
Cita-cita selanjutnya ingin menjadi pengajar, ingin membagi ilmu dan pengalaman tentang bagaimana kebanggaannya menjadi seorang chef, profesi yang tidak kalah dengan pilot, dokter, pengacara. Asal kita tekun dalam satu pekerjaan atau profesi pasti berhasil. Lewat profesinya ini pula yang membuatnya tidak minder untuk berdiri sejajar dengan ras-ras Eropa sekalipun, bahkan merasa mampu melampaui mereka.